0
KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto, Jumat (20/4), di Kota Semarang, Jawa Tengah, menggambarkan betapa korupsi terjadi sangat masif di Indonesia. Para penjahat begitu kuat dan solid, memiliki jaringan sangat luas dengan dana tak terbatas. Maka, mau tak mau penegak hukum harus berkejaran dengan kenyataan itu.

[imagetag]
Pemberantasan korupsi itu seperti lari maraton, bukan sprint. Karena itu, kita harus memiliki daya tahan yang kuat.
[imagetag]

Bambang mengungkapkan hal itu dalam sesi bertema "Menembus Batas" di Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC), Jumat (20/4). Sesi itu merupakan rangkaian dari pelatihan yang diikuti penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, KPK, dan lembaga lain, seperti Badan Pemeriksa Keuangan serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Dalam sesi itu, Bambang banyak menyajikan ilustrasi yang membutuhkan cara berpikir di luar kebiasaan, think out of the box. Dengan begitu, dalam skema korupsi, orang dapat melihat bahwa ternyata ada bentuk segi 26 dalam sebuah segitiga besar berisi puluhan segitiga kecil serta bagaimana ternyata kambing dapat memanjat pohon.

Hal-hal tersebut kelihatannya mustahil. "Padahal, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Jangan katakan impossible, tapi i'm possible," ujarnya.

Bambang mengakui, banyak hambatan yang dihadapi penegak hukum di Indonesia, mulai dari keterbatasan personel, keterbatasan dana, keterbatasan sarana, hingga tekanan politik. Meskipun demikian, semangat untuk memberantas kejahatan, terutama korupsi, harus dijaga.

Ia menyebutkan, 78 persen pendapatan negara dari pajak berjumlah kira-kira Rp 800 triliun dari total APBN 2012 sebesar Rp 1.311 triliun. "Bagaimana kalau 10 persen saja dari dana pajak itu jebol? Bayangkan jika satu orang seperti Gayus Tambunan bisa mendapat kekayaan Rp 75 miliar-Rp 80 miliar dari pajak yang seharusnya masuk dalam kas negara. Jika ada 10 orang saja, berapa uang negara yang hilang?" katanya.

Ketika menemukan sejumlah fakta, Bambang menekankan agar penegak hukum tak segera mengambil keputusan sebelum melihatnya secara utuh. Jangan menjadikan diri sendiri terbatas, menjadi miopic egocentric, dalam mengungkap suatu kasus. Untuk itu, soft competence para penegak hukum harus diubah.

"Orang-orang jahat jauh lebih dahsyat. Tidak ada pilihan lain selain memiliki visi yang menembus batas. Pemberantasan korupsi itu seperti lari maraton, bukan sprint. Karena itu, kita harus memiliki daya tahan yang kuat," ujarnya.

Terkait soal JCLEC, lembaga ini didirikan pada 2004 atas kerja sama Pemerintah Indonesia, Pemerintah Australia, dan Kemitraan. Tahun 2008, JCLEC bekerja sama dengan Kantor Narkoba dan Kejahatan PBB melaksanakan pelatihan kerja sama antarlembaga penegak hukum. Tahun ini adalah masa terakhir dari program tersebut.

Salah seorang tenaga pendidik di JCLEC, Komisaris Besar Dwi Riyanto, menyebutkan, sudah ada 11.429 peserta pelatihan dari 51 negara. Sedikitnya 2.000 pelatih didatangkan dari sejumlah negara untuk membawakan materi. (Amanda Putri Nugrahanti)

denker08 30 Apr, 2012

Post a Comment Blogger

 
Top