0
Inilah 10 Pajak yang "Abnormal"


Pemerintah Indonesia berencana menetapkan pajak bagi rumah makan pinggiran alias Warteg. Langkah pemerintah ini dinilai mengada-ada karena usaha tersebut tergolong kecil.

Meski demikian, pajak yang ditetapkan pemerintah tergolong lazim dilakukan. Okezone mendapatkan, terdapat beberapa pajak yang "abnormal", yang pernah ditetapkan oleh pemerintah di luar negeri. Berikut 10 pajak yang dianggap sebagai pajak abnormal tersebut.

Pajak Urinol
Ternyata tak hanya di Indonesia yang menerapkan pembayaran kala buang air kecil. Kaisar Romawi Nero dan Vespasianus, pada Abad pertama telah lebih dulu menerapkan hal ini. Pada zamannya, ada kolektor yang bertugas mengumpulkan urin dari toilet umum.

Melansir halaman Wikipedia, hal ini tercetus, setelah urin menjadi bahan baku untuk banyak proses kimia dalam produksi amonia. Amonia juga digunakan sebagai bahan baku untuk pemutih gigi juga. Melihat keuntungan ini, Nero pun mengenakan pajak pada para kolektor ini.

Titus, putra Vespasianus, pernah mencibir ayahnya karena mengambil pajak dari menjijikkan seperti itu. Namun, Vespasianus hanya menunjukan emas pada anaknya seraya mengatakan "Pecunia non olet," yang artinya uang tidak berbau busuk. Frasa ini juga digunakan untuk menyatakan bahwa tidak masalah darimana uang berasal.

Pajak Buang Gas Bagi Ternak
Buang gas adalah hal yang lumrah dilakukan setiap orang, bahkan hewan, tapi tidak demikian dengan pemerintah Selandia Baru. Pemerintah Wellington telah menerapkan pajak tambahan, bagi ternak yang buang gas.

BBC News mencatat, langkah ini merupakan tindakan pemerintah Wellington untuk memenuhi komitmennya sesuai Protokol Kyoto tentang pemanasan global.

Para ilmuwan memperkirakan, metana yang dipancarkan oleh hewan ternak bertanggung jawab atas, lebih dari setengah gas rumah kaca negara tersebut, terhitung sekitar 15 persen dari emisi metana di seluruh dunia, salah satu yang paling ampuh gas rumah kaca.

Pajak buang gas bagi ternak yang diusulkan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan sekira USD4,9 juta per tahun. Nantinya, uang tersebut digunakan untuk mendanai penelitian tentang emisi pertanian.

Domba, sapi, kambing dan rusa menghasilkan sejumlah besar gas melalui sendawa dan gas buang mereka, karena mereka mencerna rumput. Di Selandia Baru, hewan ternak menghasilkan 90 persen emisi metana.

Pajak Jenggot

Kumis dan jenggot merupakan dapat menjadi aksesori tambahan bagi kaum hawa agar terlihat macho. Tapi akankah Anda menumbuhkan jenggot jika Anda harus membayar karena memiliki jenggot?

Dikutip dari Wikipedia, pada 1535, Raja Henry VIII dari Inggris, memperkenalkan pajak jenggot. Uniknya, sang raja kala itu juga memiliki jenggot. Pajak ini adalah pajak progresif, sesuai dengan posisi sosial si empunya jenggot. Pajak tersebut diteruskan oleh Putrinya, Elizabeth I dari Inggris, yang mengenakan pajak setiap pertumbuhan lebih dari dua minggu.

Kebijkan Henry tersebut diikuti oleh Kaisar Peter I dari Rusia, pada 1705 dia menerapkan pajak jenggot untuk memodernisasi masyarakat Rusia mengikuti model Eropa. Mereka yang membayar pajak diminta untuk membawa "koin jenggot". Koin tembaga atau perak dengan Elang Rusia di satu sisi dan di sisi lain terdapat wajah dengan hidung, mulut, kumis jenggot dan bertuliskan "pajak jenggot telah diambil" dan "jenggot merupakan beban berlebihan".

Pajak Jendela
Jendela menjadi salah atribut utama dari rumah. Bahkan, beberapa rumah rumah memiliki banyak jendela. Namun, bagaimana jika jendela yang ada di rumah Anda di kenakan pajak per jendela ? Hal ini pernah diterapkan Raja William III pada 1696, mengutip Aol, pengenaan pajak untuk jendela.

Pajak biasa untuk rumah adalah 2 shilling, namun jika sebuah rumah memiliki lebih dari sepuluh jendela, setiap jendela memiliki tambahan pajak. Karenannya, banyak rumah kala itu membuat jendela secara minimalis untuk menghindari pajak tersebut. Pajak ini akhirnya dicabut pada 1851.

Cowardice Tax (Pajak Untuk Pengecut)

Sesuai namanya, pajak ini diterapkan bagi orang-orang yang melarikan diri dari pertempuran. Melansir Aol, pajak ini diterapkan pada abad ke-16 hingga ke-17 di bawah kekuasaan Raja Henry I.

Saat itu, Henry I membuat aturan, bagi siapa saja yang memilih untuk tidak berjuang bagi sang raja, seharusnya membayar harga, secara harfiah. Pajak ini awalnya rendah, namun meningkat 300 persen. Pajak itu berlangsung selama 300 tahun sebelum dibatalkan.

(author unknown) 07 May, 2012

Post a Comment Blogger

 
Top