Skenario CIA Dalam Penggulingan Pangeran Sihanouk di Kamboja
Berita heboh terkini. Penggulingan Pangeran Sihanouk di Kamboja ternyata tidak luput dari peran CIA. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi Duta besar indonesia ikut andil di dalamnya.
“Kelompok sayap kanan di Phnom Penh telah mengail di air keruh selama saya tidak berada di Kamboja. Mereka ingin agar Kamboja masuk dalam kubu Amerika.” (Pangeran Norodom Sihanouk, 10 Maret 1970)
Pangeran Norodom Sihanouk wafat pada usia 89 tahun. Beliau bukan sekadar dikenang sebagai raja Kamboja. Namun dia masuk dalam deretan para pemimpin Asia yang masih tersisa, yang sempat mengalami dinamika Perang Dingin pada 1950-an hingga akhir 1980-an. Sihanouk juga tercatat sebagai salah satu kepala negara/pemerintahan Asia yang masuk dalam target operasi badan intelijen Amerika Serikat CIA karena tidak mau masuk dalam orbit pengaruh Washington, sehingga Sihanouk jadi sasaran proganda hitam Amerika dan sekutu-sekutu baratnya sebagai agen Uni Soviet dan Cina yang berhaluan komunis.
Padahal, seperti juga Bung Karno dari Indonesia, dan beberapa pemimpin kawasan Asia lainnya, Sihanouk masuk dalam deretan para pemimpina Asia da Afrika yang menginginkan terbentuknya “kekuatan ketiga” yang tidak memihak kutub liberal kapitalis AS/Eropa Barat, dan juga tidak berhaluan komunis yang waktu itu dimotori oleh Soviet dan Cina. Dengan kata lain, Sihanouk termasuk yang berhaluan pendukung Gerakan Non Blok.
Alhasil, CIA kemudian menyusun skenario kudeta dengan bantuan para perwira militer sayap kanan Kamboja yang dipimpin oleh Jenderal Lon Nol. Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia, kisah kudeta terhadap Sihanouk secara gamblang telah menggambarkan betapa dramatisnya plot kudeta yang dirancang oleh Washington. Karena agenda besar AS di balik penggulingan Sihanouk sebagai pemimpin Kamboja yang mengakar di kalangan rakyat, adalah untuk meng-internasionalisasi perang Vietnam. Dan Sihanouk, dipandang sebagai faktor yang bisa menghambat, bahkan menggagalkan skenario Washington.
Karena sejak 1960, Sihanouk selalu berusaha keras mencegah meluasnya perang Indocina, sehingga dengan sikapnya ini, Sihanouk menjadikan dirinya sebagai pemimpin Kamboja yang bisa diterima oleh semua faksi, termasuk kelompok sayap kiri. Para pihak yang melawan garis politik Sihanouk adalah kelompok bisnis yang berhaluan sayap kanan dan faksi fanatik anti komunis dari kelompok militer. Tentu saja sikap politik luar negeri Sihanouk yang menentang meluasnya perang Indocina, dibaca sebagai melawan skema Amerika yang justru ingin meluasnya eskalasi perang Indocina. Dengan begitu, Sihanouk otomatis melawan skema internasionalisasi perang Vietnam yang dilancarkan oleh Washington.
Perang Indocina memang sudah dilancarkan oleh Amerika sejak 1964, semasa Presiden Lyndon B Johson. Yang kemudian diteruskan oleh Presiden Richard Nixon pada 1968, hingga saat terjadinya kudeta terhadap Sihanouk pada 18 Maet 1970.
Sekadar catatan sekilas. Sejak perang Indocina dilancarkan, Amerika menggunakan Thailand dan Okinawa sebagai basis dan pusat kegiatan baik operasi militer maupun operasi intelijen. Dalam operasi militer, khususnya ketika melakukan pemboman terhadap Vietnam Selatan, Vietnam Utara, Amerika menggunakan basis militernya di Thailand, Taiwan, Okinawa, Hawaii, Filipina dan Guam.
Di Thailand ini pula, Amerika menggunakannya sebagai pangkalan militer untuk menggempur kekuatan-kekuatan komunis di Kamboja. Maka ketika pasukan udara Amerika mengebom Laos Utara dan Vietnam Utara, Thailand merupakan pusat komando pengeboman yang digunakan oleh pasukan Amerika, khususnya pangkalan militer yang bernama Udorn Air Base.
Sihanouk semakin memperlihatkan sikapnya yang terang-terangan menentang kebijakan Washington untuk melawan komunis di Kamboja, ketika pada 1969 Pangeran yang flamboyant dan kawan akrab Bung Karno tersebut, mati-matian mencegah Kamboja masuk ke dalam skema internasionalisasi perang Vietnam, dan mengambil sikap netral dengan mempertahankan keseimbangan politik di Kamboja. Inilah puncak kejengkelan Washinton, yang akhirnya bermuara pada dukungan terbuka pada militer sayap kanan pimpinan Jenderal Lon Nol untuk menggusur Sihanouk pada 18 Maret 1970.
Setelah Sihanouk berhasil digulingkan, praktis kawasan Indocina terjadi destabilisasi. Pada satu pihak sayap kanan dukungan Amerika menguasai dan mengambil-alih kendali politik, pada saat yang sama Sihanouk dan para pendukungnya mau tidak mau harus berada dalam satu kubu dengan berbagai elemen sayap kiri baik komunis maupun nasionalis kiri.
Sejak 18 Maret 1970 itulah, para pemimpin Khmer Merah yang berhaluan kiri berhasil mengajak Sihanouk untuk bersekutu melawan imperialism Amerika. Kalau dipikir-pikir sekarang, sunguh ironis bahwa konspirasi sayap kanan dan militer Kamboja lah yang telah memaksa Sihanouk menjadi satu kubu dengan Komunis. Dalam hal ini, komunis yang pro Beijing.
Sihanouk sendiri, sebagai politisi yang cukup berpengalaman meski waktu itu masih berusia relatif muda, sudah merasa dirinya sedang jadi target operasi CIA dan faksi sayap kanan Kamboja.
“Kelompok sayap kanan di Phnom Penh telah mengail di air keruh selama saya tidak berada di Kamboja. Mereka ingin agar Kamboja masuk dalam kubu Amerika,” begitu tutur Sihanouk yang ketika itu masih sedang mengadakan lawatan ke Perancis. Bukan itu saja. Dalam sebuah jumpa pers, Sihanouk menyatakan bahwa dalam beberapa waktu belakangan ini, telah diadakan kontak intensif antara para perwira militer sayap kanan dan CIA. Sekaligus mengingatkan adanya bahaya kudeta, dan semuanya tergantung pada sikap dari militer.
Benar saja. Akhirnya Sihanouk tak bisa bertahan, karena Jenderal Lon Nol yang mengendalikan angkatan bersenjata Kamboja sebagai Panglima Militer, lebih berpihak pada Wakil Perdana Menteri Sirik Matak dan para pengikut sayap kanannya. Dan Sirik Matak lah yang dalam penglihatan Sihanouk, secara intensif menjalin kontak-kontak intensif dengan kalangan kedutaan Amerika di Phnom Penh sejak kedubes tersebut dibuka pada 1969.
Yang menarik dari jalinan kisah tergusurnya Sihanouk, adalah tentang keterlibatan militer Indonesia yang ketika itu sudah berada dalam kekuasaan Jenderal Suharto. Dan berhasil mendalangi kejatuhan Bung Karno berkat bantuan CIA. Sebuah studi yang dilakukan oleh Julie Southwood dan Petrcik Flanagan dalam bukunya yang bertajuk: Indonesia, Law, Proganda and Terror, mengungkap adanya kedekatan Lon Nol dengan Suharto. Sejak 1965, sekitar 2 bulan setelah Suharto berhasil mendalangi penggulingan Bung Karno, sebuah tim para perwira militer Kamboja diam-diam berkunjung ke Indonesia untuk mempelajari cara Suharto menggulingkan Bung Karno.
Dari fakta yang diungkap dua peneliti tersebut, maka kunjungan dan studi pihak militer Kamboja ke Indonesia, barang tentu pihak militer Indonesia sudah tahu dari awal bakal adanya kudeta 18 Maret 1970 tersebut.
Yang lebih mengejutkan lagi, salah satu saluran penghubung antara perwira militer Lon Nol dan pihak Amerika adalah kedutaan besar Indonesia di Phnom Penh. Indonesia sepertinya punya tugas ganda: di satu sisi memberikan nasehat kepada Lon Nol tentang siasat pertempuran, di sisi lain memberikan laporan intelijen pertahanan kepada Amerika mengenai rencana Lon Nol.
Jelas lah sudah. Jejak-jejak CIA dalam operasi rahasia penggulingan Sihanouk tidak saja terlihat nyata di Kamboja, melainkan juga melibatkan jaringan kaki tangannya di Indonesia dan Thailand.
Tak selamanya Amerika Serikat Berjaya.
Sejak 1975-1976, pasukan Khmer Merah yang didukung sepenuhnya oleh Republik Rakyat Cina (RRC), akhirnya berhasil menaklukkan pasukan militer sayap kanan Jenderal Lon Nol. Sehingga praktis Kamboja jatuh ke tangan komunis yang berhaluan Beijing-Cina. Dan barang tentu, juga mengusir tentara Amerika dari Kamboja. Dan Pangeran Sihanouk, yang sejak digusur sebagai Raja maupun Kepala Pemerintahan, bermukim di Beijing CIna, ironisnya justru berada dalam posisi yang mendukung pemerintahan Khemer Merah yang dipimpin Pol Pot.
Namun, tragedi yang menimpa Pangeran Sihanouk sepertinya belum selesai sampai di sini. Pada 1979, pada titik puncak kekejaman dan kelaliman dari Rejim Khmer Merah pimpinan Pol Pot terhadap lawan lawan politiknya, termasuk anggota keluarga besar Sihanouk di Phnom Penh, akhirnya faksi lain di dalam tubuh Khmer Merah yang dipimpin Heng Samrinh, berhasil menggulingkan Rejim Pol Pot dengan dukungan Uni Soviet dan Vietnam Utara yang waktu juga sudah berhasil menggulingkan rejim militer sayap kanan Nguyen van Thiu, yang tentunya secara otomatis juga mengusir tentara Amerika dari bumi Vietnam. Situasi pasca penggusuran Rejim Pol Pot tersebut sempat bikin Cina kebakaran jenggot. Karena dengan demikian, pengaruh Cina di Kamboja telah bergeser ke tangan Soviet yang mendukung gerakan Heng Samrinh.
Dalam situasi seperti itu, figur Sihanouk sebagai tokoh sentral Kamboja dan epicentrum dari seluruh kekuatan politik Kamboja, nampaknya justru semakin nyata. Dalam berbagai perundingan perdamaian dalam kerangka rekonsiliasi seluruh kekuatan politik Kamboja pasca tergusurnya Rejim Pol Pot, Sihanouk praktis merupakan tokoh kunci dan faktor penentu yang diperhitungkan semua kekuatan politik di dalam negeri Kamboja, maupun komunitas internasional.
Beberapa Referensi Pustaka:
1. Hendrajit DKK, Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia,2010.
2. Prince Norodom Sihanouk, My War with CIA, Baltimore: Penguin Book, 1974.
3. Noam Chomsky, At War with Asia.
4. Julie Southwood dan Petrick Flanagan, Indonesia, Law, Propaganda and Terror. London: Zed Press, 1983.
Post a Comment Blogger Facebook