Kurawa Lima
Gerakan melibas Anas semakin hari semakin meluas dan jelas-jelas semakin ganas.
Sialnya ini gerakan buas dan ganas, pelopornya para petinggi partai yang tidak puas.
Hasil survei mutakhir bikin mereka tidak puas, kicauan para pengamat membuat cemas.
Ribuan orang yang ditanya menjawab jelas-jelas bahwa mereka semua masih waras,
Karenanya sudah pasti tidak akan pilih lagi partai yang kadernya korupsi tanpa batas.
Semua proyek mau disikat, semua anggaran mau diatur, semua komisi mau dikuras.
Dari hulu sampai hilir, dan bawah sampai atas, semua harus bayar upeti secara pantas,
Kalau tidak ya jangan mimpi dapat proyek yang uangnya memang berkelas walau panas.
Makin hari suara mereka makin berterang, jelas, lugas, tegas, buas, panas, serta ganas.
Si Raja Minyak yang dulu paling lantang membela pak ketua yang kursinya makin panas,
Sekarang juga paling lantang dan paling keras serukan Anas ke luar dari ruangan kelas.
Tetapi yang mau dilibas jelas-jelas bukan politisi kelas gibas, dia ahli strategi berkelas,
Karenanya seperti ombak membentur karang, suaranya memang berdebum amat keras,
Tetapi hilang suara, hilang pula itu daya, air mundur, karang tegak, ada memang bekas,
Hanya saja tidak lebih dari pakaian yang baru saja dibilas, basah memang tetapi jelas
Kotorannya hilang bablas dibawa air pembilas, pakaian tetap gemilang dan berkelas.
Strategi sudah sejak awal diatur, orang-orang kunci masing-masing mendapat kertas,
Memang kertas bekas, tetapi nilainya bung … bisa membuat mata berkunang pedas.
Dan ini semua adalah pagar pembatas ciptaan bung Anas, si ahli strategi kelas atas.
Karenanya jelas-jelas tak ada yang bisa masuk kalau pagar pembatas tidak ikut dilibas.
Tetapi ini pagar pembatas juga berkelas dan telah dibuat anti libas, anti serangan ganas.
Untuk sementara Anas jelas tak bisa dilibas, kecuali bisa dibawa ke luar pagar pembatas.
Kurawa Lima memang telah tinggal tiga setelah yang dua dibuat tak berdaya oleh KPK,
Sang pelari maraton dari Carthagena dan sang putri jelita nona pujaan remaja Indonesia,
Memang telah diikat sayapnya, tapi jangan lupa Kurawa itu jumlahnya bukan cuma lima,
Bahkan ketika lahir dulu kalau tidak dicegah para dewa jumlahnya bisa saja tak terhingga.
Kalau dibiarkan saja lalu bagaimana bisa Pandawa yang hanya lima berjaya dalam laga?
Untung pembelahan berkala berhasil dicegah dewa, dan hanya ada dąsa dasa Kurawa.
Yang lima utama memang tinggal tiga, tetapi yang sembilan lima pasti simpan tenaga.
Kalau memang ini strateginya sang Duryudhana … ha … ha … ha … hati-hati saja KPK.
Sembilan puluh lima kesaktian walau cuma biasa-biasa saja tetapi jika gabung tenaga,
Perbawanya bisa luar biasa, mungkin sanggup gugurkan gunung keringkan samudera.
Juga jangan lupa di belakang mereka semua tentu masih ada sang maha cerdik Durna.
Dia mahaguru yang dihormati di mana-mana, bahkan Pandawa ketika dihadapannya,
Duduk bersimpuh memberi hormat dan haturkan sembah … nah dia ini apa perannya?
Masih misteri atau sudah terang nyata, belum dapat dijawab juga, dan menurut cerita,
Tak ada senjata pusaka, tak ada dewa, apalagi manusia yang mampu kalahkan Durna.
Durna hanya bisa dibuat sedih tidak berdaya kalau mendengar kabar bahwa putranya
Lebih dahulu pralaya, kemudian dia akan secara perlahan membunuh sendiri dirinya.
Nah, sekarang siapa yang menjadi Durna dan dia ada di mana, kan kabutnya rahasia?
Kalau dia tidak jelas identitasnya lalu bagaimana bisa dibuat menjadi tidak berdaya?
Duryudhana dan dua tangan kanannya saja tak cepat bisa dibekuk batang hidungnya,
Apalagi si Durna yang terasa ada tetapi tidak tentu rimbanya, makin sulitlah ceritanya.
Gatotkaca, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa memang telah ada di medan Kurusetra,
Tetapi resi Durna tidak bisa dibuat tak berdaya kalau hanya mengandalkan mereka.
Perlu strategi istimewa dan peran sang Yudistira untuk menuntaskan semua rencana.
Yang bikin pening Kresna, Yudistira terus saja menolak akali guru yang dihormatinya.
Lho kalau baginda tidak bersedia, bakal habis nih semua panglima perang Pandawa.
Tidak satu pun dari yang ada, juga pamanmu ini kata Kresna, yang bisa kalahkan dia.
Baginda tidak perlu berdusta, kata Kresna, cukup berkata bawa Aswatama telah binasa
Selebihnya biarkan hamba dan para Pandawa yang akan segera membereskannya.
Lho mana bisa, Yudistira tetap bersikeras tidak bersedia, bagaimana mungkin bisa,
Putra tercinta paman Durna yang sehat-sehat saja dikatakan telah mangkat pralaya?
Aswatama yang ini memang bukan putra Durna, itu nama gajah kesayangan istana.
Prabu Yudistira tidak biasa berdusta dan memang telah berjanji tidak akan berdusta.
Langit boleh runtuh, bumi boleh terbelah, bahkan dia dan saudaranya boleh binasa,
Tetapi berdusta tidak akan pernah dilakukan, tidak sekarang, tidak nanti, tidak lusa.
Karena Kresna pada akhirnya memang berhasil meyakinkan bahwa tak ada dusta
Jika hanya lirih mengatakan bahwa Aswatama memang telah pralaya, jika ditanya,
Maka kisah Bharata Yudha bagian ini memang ditutup dengan sedih dan merananya
Sang panglima paling perkasa dan digdaya andalan Duryudhana, dan … Pandawa
Boleh bernafas lega, guru mereka pada akhirnya pralaya karena hilang semangatnya
Mendengar putra kesayangan penerus kejayaannya telah tiada mendahului dirinya.
Peluang mengalahkan Kurawa kembali terbuka sekarang tinggal memanfaatkannya.
Karena itu seruannya sebenarnya sederhana saja, telah tiba masanya hentikan dusta,
Dan juga pura-pura … ayo, daripada nanti pada akhirnya dilibas juga oleh sang Cakra
Mengapa tidak sekarang saja mulai ambil ancang-ancang menghentikan semua drama,
Ubah segera panggung pentasnya, jadikan tempat mulia bukan untuk tampilkan dusta,
Tetapi guna beberkan semua yang yah … katakan saja terlanjur dipakai berlama-lama.
Di dunia ini mana ada orang tanpa dosa tanpa dusta, dan pengakuan atas ini semua
Jelas langkah awal paling utama dan berharga karena dari sana semua bisa bermula.
Samudera penderitaan tampak luas tidak bertepi tetapi mereka yang palingkan muka,
Pasti lihat titik kecil suar cahaya pertanda ke sanalah seharusnya ini biduk dikayuhnya.
Tak apa gagal di pentas kuasa tetapi berdiri bisa tegak dada dan tengadahkan kepala.
Ayo, belum terlambat dan pasti tidak sia-sia … belum terlambat dan pasti tidak sia-sia.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland
Gerakan melibas Anas semakin hari semakin meluas dan jelas-jelas semakin ganas.
Sialnya ini gerakan buas dan ganas, pelopornya para petinggi partai yang tidak puas.
Hasil survei mutakhir bikin mereka tidak puas, kicauan para pengamat membuat cemas.
Ribuan orang yang ditanya menjawab jelas-jelas bahwa mereka semua masih waras,
Karenanya sudah pasti tidak akan pilih lagi partai yang kadernya korupsi tanpa batas.
Semua proyek mau disikat, semua anggaran mau diatur, semua komisi mau dikuras.
Dari hulu sampai hilir, dan bawah sampai atas, semua harus bayar upeti secara pantas,
Kalau tidak ya jangan mimpi dapat proyek yang uangnya memang berkelas walau panas.
Makin hari suara mereka makin berterang, jelas, lugas, tegas, buas, panas, serta ganas.
Si Raja Minyak yang dulu paling lantang membela pak ketua yang kursinya makin panas,
Sekarang juga paling lantang dan paling keras serukan Anas ke luar dari ruangan kelas.
Tetapi yang mau dilibas jelas-jelas bukan politisi kelas gibas, dia ahli strategi berkelas,
Karenanya seperti ombak membentur karang, suaranya memang berdebum amat keras,
Tetapi hilang suara, hilang pula itu daya, air mundur, karang tegak, ada memang bekas,
Hanya saja tidak lebih dari pakaian yang baru saja dibilas, basah memang tetapi jelas
Kotorannya hilang bablas dibawa air pembilas, pakaian tetap gemilang dan berkelas.
Strategi sudah sejak awal diatur, orang-orang kunci masing-masing mendapat kertas,
Memang kertas bekas, tetapi nilainya bung … bisa membuat mata berkunang pedas.
Dan ini semua adalah pagar pembatas ciptaan bung Anas, si ahli strategi kelas atas.
Karenanya jelas-jelas tak ada yang bisa masuk kalau pagar pembatas tidak ikut dilibas.
Tetapi ini pagar pembatas juga berkelas dan telah dibuat anti libas, anti serangan ganas.
Untuk sementara Anas jelas tak bisa dilibas, kecuali bisa dibawa ke luar pagar pembatas.
Kurawa Lima memang telah tinggal tiga setelah yang dua dibuat tak berdaya oleh KPK,
Sang pelari maraton dari Carthagena dan sang putri jelita nona pujaan remaja Indonesia,
Memang telah diikat sayapnya, tapi jangan lupa Kurawa itu jumlahnya bukan cuma lima,
Bahkan ketika lahir dulu kalau tidak dicegah para dewa jumlahnya bisa saja tak terhingga.
Kalau dibiarkan saja lalu bagaimana bisa Pandawa yang hanya lima berjaya dalam laga?
Untung pembelahan berkala berhasil dicegah dewa, dan hanya ada dąsa dasa Kurawa.
Yang lima utama memang tinggal tiga, tetapi yang sembilan lima pasti simpan tenaga.
Kalau memang ini strateginya sang Duryudhana … ha … ha … ha … hati-hati saja KPK.
Sembilan puluh lima kesaktian walau cuma biasa-biasa saja tetapi jika gabung tenaga,
Perbawanya bisa luar biasa, mungkin sanggup gugurkan gunung keringkan samudera.
Juga jangan lupa di belakang mereka semua tentu masih ada sang maha cerdik Durna.
Dia mahaguru yang dihormati di mana-mana, bahkan Pandawa ketika dihadapannya,
Duduk bersimpuh memberi hormat dan haturkan sembah … nah dia ini apa perannya?
Masih misteri atau sudah terang nyata, belum dapat dijawab juga, dan menurut cerita,
Tak ada senjata pusaka, tak ada dewa, apalagi manusia yang mampu kalahkan Durna.
Durna hanya bisa dibuat sedih tidak berdaya kalau mendengar kabar bahwa putranya
Lebih dahulu pralaya, kemudian dia akan secara perlahan membunuh sendiri dirinya.
Nah, sekarang siapa yang menjadi Durna dan dia ada di mana, kan kabutnya rahasia?
Kalau dia tidak jelas identitasnya lalu bagaimana bisa dibuat menjadi tidak berdaya?
Duryudhana dan dua tangan kanannya saja tak cepat bisa dibekuk batang hidungnya,
Apalagi si Durna yang terasa ada tetapi tidak tentu rimbanya, makin sulitlah ceritanya.
Gatotkaca, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa memang telah ada di medan Kurusetra,
Tetapi resi Durna tidak bisa dibuat tak berdaya kalau hanya mengandalkan mereka.
Perlu strategi istimewa dan peran sang Yudistira untuk menuntaskan semua rencana.
Yang bikin pening Kresna, Yudistira terus saja menolak akali guru yang dihormatinya.
Lho kalau baginda tidak bersedia, bakal habis nih semua panglima perang Pandawa.
Tidak satu pun dari yang ada, juga pamanmu ini kata Kresna, yang bisa kalahkan dia.
Baginda tidak perlu berdusta, kata Kresna, cukup berkata bawa Aswatama telah binasa
Selebihnya biarkan hamba dan para Pandawa yang akan segera membereskannya.
Lho mana bisa, Yudistira tetap bersikeras tidak bersedia, bagaimana mungkin bisa,
Putra tercinta paman Durna yang sehat-sehat saja dikatakan telah mangkat pralaya?
Aswatama yang ini memang bukan putra Durna, itu nama gajah kesayangan istana.
Prabu Yudistira tidak biasa berdusta dan memang telah berjanji tidak akan berdusta.
Langit boleh runtuh, bumi boleh terbelah, bahkan dia dan saudaranya boleh binasa,
Tetapi berdusta tidak akan pernah dilakukan, tidak sekarang, tidak nanti, tidak lusa.
Karena Kresna pada akhirnya memang berhasil meyakinkan bahwa tak ada dusta
Jika hanya lirih mengatakan bahwa Aswatama memang telah pralaya, jika ditanya,
Maka kisah Bharata Yudha bagian ini memang ditutup dengan sedih dan merananya
Sang panglima paling perkasa dan digdaya andalan Duryudhana, dan … Pandawa
Boleh bernafas lega, guru mereka pada akhirnya pralaya karena hilang semangatnya
Mendengar putra kesayangan penerus kejayaannya telah tiada mendahului dirinya.
Peluang mengalahkan Kurawa kembali terbuka sekarang tinggal memanfaatkannya.
Karena itu seruannya sebenarnya sederhana saja, telah tiba masanya hentikan dusta,
Dan juga pura-pura … ayo, daripada nanti pada akhirnya dilibas juga oleh sang Cakra
Mengapa tidak sekarang saja mulai ambil ancang-ancang menghentikan semua drama,
Ubah segera panggung pentasnya, jadikan tempat mulia bukan untuk tampilkan dusta,
Tetapi guna beberkan semua yang yah … katakan saja terlanjur dipakai berlama-lama.
Di dunia ini mana ada orang tanpa dosa tanpa dusta, dan pengakuan atas ini semua
Jelas langkah awal paling utama dan berharga karena dari sana semua bisa bermula.
Samudera penderitaan tampak luas tidak bertepi tetapi mereka yang palingkan muka,
Pasti lihat titik kecil suar cahaya pertanda ke sanalah seharusnya ini biduk dikayuhnya.
Tak apa gagal di pentas kuasa tetapi berdiri bisa tegak dada dan tengadahkan kepala.
Ayo, belum terlambat dan pasti tidak sia-sia … belum terlambat dan pasti tidak sia-sia.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland
tribudhis 08 May, 2012
Post a Comment Blogger Facebook